My Village is My Heaven (desaku
adalah surgaku)
Gentong.
Sabtu,
1 Desember 2018. Siang itu matahari memancarkan sinarnya dengan sempurna.
Namun, ada sedikit mendung yang membuat kegaranggya sedikit terhalang sehingga suhu
udara terasa sejuk. Pulang sekolah seperti biasa aku bermain dengan
teman-temanku. Saking asyiknya bermain, terkadang aku lupa akan makan dan tidur
siang. Sehingga tak jarang telinga ini tiap hari penuh dengan tausyiah lima
menit ala emak.
Terlepas dari baik
buruknya, itulah kebiasaanku yang sampai saat ini belum berhasil aku rubah.
Kebiasaan yang terbentuk karena adanya keakraban, kebebasan, keamanan dan jiwa
sosial yang masih tinggi. Hal itu terjadi karena aku hidup disebuah region yang
berkategori desa. Namun tak jarang juga dari mereka yang tak betah tinggal di
desa, sehingga bermigrasi ke kota atau bahkan ke luar negeri. Entah karena
alasan pekerjaan, keluarga atau hanya sekedar ingin menuruti gaya hidup biar
dikatakan orang modern.
Aku adalah atabeg, aku baru duduk dikelas 1 tingkat
dasar.
Sebagai generasi penerus bangsa, setiap hari aku harus berangkat ke
sekolah untuk menuntut ilmu agar kelak menjadi manusia yang berguna. Namun tak
jarang ketika melihat kakekku mengajak sepupuku ke sawah dan aku belum saatnya
pulang sekolah, mulut ini suka bergumam sendiri “enak ya adek diajak ke sawah,
bisa mainan air, lari-lari”……(sambil sedikit jengkel).
Namun,
ketika hari libur tiba misal hari minggu atau libur nasional, aku juga sering
diajak kakekku atau nenekku ke sawah bareng teman-teman dan adek sepupuku
tsaqif. Kami tidak takut basah, kotor, atau bahkan dingin. Selain karena aku
suka dengan kegiatan ini, orang tuaku juga mendukung agar aku mengenal alam
sekitar.
Hari
minggu pun tiba, seperti biasa pagi-pagi sekali temanku fatur datang kerumah
untuk bermain mengisi waktu libur kami. Dengan nada merayu si fatur memanggilku
dari pintu tengah yang kebetulan sudah terbuka “beg…. atabeg…. Dolanan
yuuk….!!!!.” akupun semangat keluar menghampiri fatur, dan kami akhirnya
bermain di sekitar rumah dengan memanfaatkan barang-barang seadanya yang kami
lihat tergeletak, dan terkadang kami kena marah, karena ternyata barang yang
kami gunakan merupakan alat rumah tangga yang masih terpakai.
Setelah
cukup lama bermain, tiba-tiba terdengar bunyi sirine dari arah dapur “toleeeeee
dang mandi dulu”.. sirine itu tanda peringatan kalau aku harus segera mandi. Akupun
segera mematikan sirine itu dengan jawaban “enggeh maaakkk…” dan akupun
langsung berlari menuju kamar mandi sambil berpesan pada temanku fatur “tur
jangan pulang dulu yaaa, mandiku sediluk alias sebentar brak brak brak” (sambil
berlari kecil menuju kamar mandi).
Setelah
mandi, kami mau melanjutkan bermain lagi tapi permainan kami sudah terasa
membosankan. Akhirnya kami sepakat untuk main ke tempat nenekku, karena di
sanalah sepupuku tinggal. Dengan menaiki sepeda ontel, kami berangkat menuju rumah nenekku. Tapi, sebelum sampai tujuan kami berpapasan dengan
nenekku yang hendak ke sawah, dan ternyata
dibelakangnya ada seorang anak kecil naik sepeda ontel pula sedang pringas pringis tanda senang
berjumpa dengan kami. Ia adalah sepupuku tsaqif yang mau kami ajak bermain.
“Wow ke sawah, asyik-asyik”, itulah kalimat yang spontan terlintas di
pikiranku. Dengan harapan, ada ajakan dari nenekku agar kami ikut ke sawah
bersama mereka.
Ternyata
benar saja, setelah melihat kami berdua nenekku langsung melontarkan pertanyaan
dengan nada agak sedikit keras agar kami cepat merespon karena terlihat dia
buru-buru. “beg ikut gak?? Mbah ti mau ke sawah, lihat wong garu” (garu =
mengolah lahan dengan traktor agar siap di tanami kembali) sedangkan (mbah ti =
panggilan akrab kami memanggil nenek). Langsung saja aku menjawab dengan penuh
semangat “ya mbah ikut, tapi mas fatur diajak ya??”.. aku menawarkan temanku
agar boleh ikut karena aku pikir kalau rame-rame akan lebih menyenangkan. Dan akhirnya kami berempat berangkat ke sawah, nenekku jalan kaki sedangkan kami bertiga naik sepeda ontel.
Sesampainya
di sawah aku melihat hamparan tanah yang sangat luas, sebagian ada yang sudah
digaru sebagian lagi ada yang belum. Kami langsung menuju ke sawah milik nenekku
yang kebetulan masih proses menggaru. Untuk memudahkan menggaru sawah harus
dalam keadaan becek dan banyak air. Kebetulan pada saat itu masih jarang turun
hujan, sehingga ketika proses menggaru sawah harus sambil diairi agar air tidak
cepat habis. Dan irigasi mayoritas petani di desaku, memanfaatkan air sumber
dari dalam bumi yang diambil dengan bantuan diesel ataupun sibel. Maka dari
itu, ketika musim kemarau tiba, banyak diantara mereka yang mengeluh hasil
panen tidak sesuai dengan biaya ketika menggarap sawah. Karena biaya yang masuk
untuk proses pengairan sendiri bisa mencapai 40% dari penghasilan, belum lagi
untuk biaya yang lainnya. Tapi, biarlah itu urusan orang dewasa yang terpenting
saat ini aku bisa bermain dan bersenang-senang.
Siang
itu kami sangat senang sekali. Kami lari ke sana kemari, naik turun galengan
(galengan = batas antara satu petak sawah dengan petak sawah yang lain).
Sehingga, dari ujung kepala sampai ujung kaki tak luput dari tempelan lumpur.
Sampai aku lihat wajah sepupuku yang terlihat loreng-loreng seperti tentara
yang sedang latihan di hutan. “dek wajahmuilhoooo, clorengan kayak tentara…hhhh” (teriakku sambil mentertawakan
dia). Si tsaqifpun malah tertawa terbahak-bahak sambil berkata “yoben mas apik
ooooo…hhhh”. Sedangkan si fatur tidak terlalu kotor, kelihatannya dia agak
takut dingin.
Tak
terasa ketika aku berdiri, kulihat bayangan tubuhku sangat pendek bahkan hampir
hilang seakan lari masuk ke dalam tubuh lewat ujung kaki. Hal itu menandakan, bahwa
waktu dzuhur telah tiba dan hari sudah masuk waktu siang. Dengan suara yang
amat keras nenekku yang dari tadi berjalan menyusuri sawah sambil memantau
tukang penggaru berteriak memanggil kami. “hei sudah, ayo pulang”. Kamipun
langsung mendekat menghampiri nenek yang kebetulan sudah berjalan menuju ke
arah jalan pulang. Karena selain kami memang sudah kedinginan, kami juga segera
ingin pulang karena sudah kebiasaan kami setiap waktu dzuhur tiba kami harus
sudah di rumah. Karena entah benar atau tidak, ada saja kata orang tua jika
waktu terik siang hari masih main di luar rumah. Ada yang bilang nanti diculik,
ada yang bilang nanti digondol wewe gombel dan alasan-alasan yang berbau horor
lainnya.
Sebelum
tiba di tempat parkir sepeda, kami melewati sawah nenekku yang ada di tempat lain.
Kebetulan bagian tepi sawah tersebut ditanami pohon pisang dan kami melihat
banyak yang sudah masak. Spontan nenekku bilang “le pisange banyak yang suluh,
ayo diambil” (suluh = buah yang masak di pohon). “ayoooooo” (sahut kami). Dengan
lari penuh semangat, kami menghampiri nenekku yang sedang berusaha menurunkan
batang buah pisang yang telah dipotong dari pohonnya. Kamipun menikmati buah
pisang sepuasnya sambil diiringi alunan suara diesel yang menyala hampir disetiap
sudut sawah. Satu-satu kami petik sampai tak terasa perut ini kenyang. Entah habis
berapa buah kamipun tak faham. Andai Tuhan tidak memberi kami rasa kenyang,
mungkin satu tundun pisang bisa dihabiskan oleh kami bertiga.

Hari
ini sungguh menjadi pengalaman menarik yang sangat berharga dan tak akan pernah
terlupakan. Banyak sekali manfaat yang aku peroleh, manfaat yang paling terlihat
antara lain dari segi sosial dan kesehatan fisik. Aku jadi tidak ketergantungan
lagi pada gadged, yang menurutku akhir-akhir ini menjadi penyebab utama
menurunnya jiwa sosial, prestasi, gerak fisik dan yang paling parah terkadang banyak
hal-hal negative yang datang akibat factor kebanyakan didepan gadget. Bahkan berdasarkan
data dari United Nation Children’s Fund
(UNICEF) dalam World Children Report th
2012, Indonesia menempati urutan pertama dengan tingkat obesitas pada
anak tertinggi di wilayah ASEAN, yakni 12,2 %. Presentase tersebut jauh lebih
tinggi dibanding Negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand 8 % dan
Malaysia 6 %. Hal tersebut di karenakan kurangnya gerak fisik pada anak akibat factor
kecanduan teknologi baik televisi maupun gadjed.
Sekarang
aku mulai memahami, mengapa di kota-kota besar banyak sekolah yang berlomba-lomba
menampilkan keunggulan sekolah dengan berbasis alam. Namun, tidak banyak orang
tua yang mampu menyekelohkan anaknya di
sekolah tersebut karena biaya masuk yang amat mahal. Bahkan ada yang sampai 20
an juta untuk menebus agar bisa masuk di sekolah yang berbasis alam tersebut. Namun,
Alhamdulillah aku bersyukur tinggal di desa yang semua itu dapat aku nikmati
dengan gratis. Aku merasa “my village is
my heaven” (desaku adalah surgaku).
Kini
aku juga mulai memahami, mengapa acara tv si
bolang (sebuah acara tv yang mengangkat kehidupan petualangan anak-anak Nusantara
yang notabene tinggal di desa) banyak sekali mendapat penghargaan baik dari
pemerintah melalui Departemen Kebudayaan, Kementrian pendidikan maupun dari
pihak-pihak swasta seperti penghargaan Panasonic award, penghargaan dari
yayasan Sains Estetika dan Teknologi dan masih banyak lagi penghargaan-penghargaan
lain yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu.
Inilah
sedikit cerita tentang petualanganku sebagai anak desa yang suka berinteraksi
dengan alam. Ayo teman-teman sedikit demi sedikit tinggalkan gadget. Kasihkan gadget
kamu ke orang tua, belum saatnya bagi kita memiliki barang tersebut apalagi
kita menggunakannya tiap hari entah dengan alasan untuk komunikasi, melihat
situs-situs mengaji, belajar atau alasan lainnya, itu hanyalah sebuah alasan
yang manfaat dengan kerugiannya tidak seimbang. Karena jika diteliti banyak kerugiannya
daripada manfaatnya.
Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi
Salam….
See
you next time…
By
: Moshrefa_siti
4 comments:
hebat hebat sangat kreatif adikku ini lanjutkan ceritamu smga bermanfaat utk semua
Mas Beg.... Humam diajak main nggeh di Sawah....
Umi nya Mas Beg heebaaat..👸 🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌻🌻🌻🌻🌻
Makasih kakak hehe... amiin
Ayo mas humam... Nanti pas panen keong ya aku ajak. Hikshiks
Post a Comment