#KisahCintaLunaSaatSMA
Sosok luna sebelum
SMA
Luna adalah gadis remaja yang beranjak dewasa. Dia merupakan
gadis berambisi yang punya impian ingin bisa terus melanjutkan pendidikannya
sampai ke jenjang universitas. Namun, luna hanyalah gadis desa yang berasal
dari keluarga tidak mampu.
Orang tuanya hanyalah buruh tani yang penghasilannya tidak
bisa dipastikan dan hanya cukup buat beli kebutuhan pokok. Namun luna adalah
gadis penurut dan tidak pernah mengeluh. Hari-harinya diluar sekolah selalu di
isinya dengan membantu orang tua mulai menggembala kambing, mencuci, menyapu
dan sampai ikut mengasuh adik-adiknya ketika ibunya ke ladang.
Sisi lain dari orang tuanya adalah mereka merupakan sosok
orang tua yang keras, religious dan kolot. Sehingga luna tumbuh menjadi gadis
yang pemalu dan pendiam. Tak pernah terlihat olehnya bermain dengan teman
laki-laki apalagi ngobrol berduaan. Prinsip untuk tidak berpacaranpun terpatri
dihatinya yang rapuh karena hidup dilingkungan yang penuh tekanan.
Karena masalah ekonomi, saat SMA luna tidak lagi berada di
rumah. Dia sekolah sambil bekerja dan sesekali ikut mengaji karena tempat
kerjanya dekat dengan pondok pesantren. Saat SMA inilah pengalaman terkait
sosok laki-laki selalu menghantui kehidupan luna.
Dan rata-rata laki-laki yang
ingin dekat dengannya, langsung mengajak serius ke jenjang pernikahan. Entah
apa yang ada dalam pikiran mereka, padahal pada saat itu luna baru SMA kelas
XI. Sosok laki-laki tersebut mulai dari anak dari gurunya, keponakan kiyai
setempat, keponakan majikannya, teman seangkatannya dan yang terakhir seorang
duda beranak satu yang tak lain adalah pengawas UAN (Ujian Akhir Nasional) dari
pusat, padahal dia hanya beberapa kali bertemu luna saat ujian
berlangsung.
#KisahCintaLunaSaat
SMA
Episode : Cemburu
Sudah dua hari tubuh luna terasa meriang gak karuan. Badan
lemas lunglai bagai tanaman Sulur yang telah
layu. Rasanya hanya ingin bersandar di bahu sisi ranjang besi tua yang sudah
terlihat berkarat karena cat birunya sudah terkikis oleh waktu, itulah khas
ranjang jadul peninggalan nenek moyang luna.
“Lun,,, kamu itu ngapain to kok tidur-tiduran melulu…??”
“Badanku rasanya lemas pak, kepala pusing dan gak nafsu
makan…”
“La kalau sakit mbok dang pijet sana nanti lak dang enteng
(read ringan).”
Pijat selalu menjadi penolongan pertama ketika diketahui
salah satu anggota keluarga luna sakit. Selain karena factor lebih murah dari
pada ke dokter, lokasinya juga lebih menjangkau karena tidak butuh transport,
dan tinggal jalan kaki saja. Karena kendaraan sepeda ontel adalah satu-satunya
sarana transportasi yang dimiliki keluarga luna.
“Enggak pak, aku gak sakit kok cuma kecapek an dan hanya
butuh istirahat saja. Sudah bapak gak usah menghawatirkan luna”.
Dengan nada lirih dan meraba dahi luna bapaknya menimpali
“Lawong badan kamu anget gitu lhoo…!!!” Sambil terus memandangi luna dengan tatapan penasaran yang seakan
penuh pertanyaan.
Tiba-tiba saja dari arah dapur terdengar suara “Luna itu
suruh bangun, nyapu apa nyuci sana lhooo..!!! dari kemarin kok tiduran terus??”
“Buk… luna itu sakit. Demam ini lho tubuhnya”
“Kalau sakit pijat biar cepet sembuh, dari kemarin kok
tiduran melulu”.
Ibuk luna memang agak keras kalau bicara, nadanya pun
terkesan seperti orang yang lagi marah. Namun luna selalu memaklumi kondisi
ibunya. Dia berpikir semua ini terjadi karena kehidupan mereka yang keras,
serba pas-pasan sedangkan banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi.
Bapaknya pun beranjak meninggalkan luna yang dari tadi tidak
mau membuka mata. Ternyata sejenak dia kembali dengan membawa selimut
garis-garis hijau yang sudah pudar dan lusuh dan biasa orang jaman dulu
menyebutnya dengan kampli.
“Lun, pakai selimut ya biar gak dingin…”
Saat selimut mulai menutupi hampir seluruh tubuh luna, dengan
tanpa sengaja bapak melihat sesuatu tergeletak didekat tangan luna.
Setelah diambil dengan pelan dan tanpa suara, ternyata benda
tersebut adalah secarik kertas yang diremas-remas terkoyak sampai banyak bagian
yang sobek.
Sambil duduk dikursi kayu yang terletak disamping ranjang
pas di bagian sisi atas kepala luna, pelan-pelan kertas itu dibuka dan ternyata
merupakan surat dari mbaknya yang dititipkan satu bulan yang lalu saat bapaknya
sambang ke pondok (sambang = menjenguk). Yang mana isi dari surat tersebut
adalah sebagai berikut:
“ Hi adekku yang cantik dan
pendiam… dua minggu lagi kamu kan udah kelulusan, nanti nglanjutin sekolah dan
mondok di sini ya. Nih udah aku siapin satu kasur bekas teman sekamarku yang
udah boyong tapi masih bagus kok makanya aku sembunyikan khusus buat kamu nanti
kalau ke sini.
Di sini enak dek, nanti kalau ada
apa-apakan ada mbak yang jagain kamu. Tiap hari kita tinggal makan gak usah
masak, enak gak kayak di rumah yang tiap hari harus menggembala kambing, jadi
tukang cuci dan seabrek kerjaan yang gak pernah ada selesainya. Di sini kita
bisa focus belajar dan mengaji.
Di sini sekolahnya bagus,
lokasinya luas, santrinya banyak, jadi kita bisa berkompetisi dengan teman yang
lain. Kalau umpama kamu gak kerasan di sini, kamu juga bisa memilih mau ngaji
ke kyai siapa. Karena sebenarnya di sini banyak pondok yang lokasinya saling
berdekatan.
Ada Mansyaul Huda 2, An-Nihayah,
Roudlotutholibin dan Al-Hidayah. Dan semua mayoritas masih dzuriyyah (red
saudara).
Kalau yang aku tempati ini di PP
Mansyaul Huda 2 yang di asuh oleh KH. Muh. Muhyiddin. Bapak beliau masih
besannya KH. Maimun Zubai sarang. Dan beliau sendiri adalah besannya almarhum
mbah Dim tegalrejo. Beliau mukanya teduh, sabar, tak sekalipun aku melihat
beliau marah pada santrinya. Terkadang kalau ada santri pulang kehabisan uang,
tak jarang beliau selalu ngasih untuk ongkos transport. Makanya aku merasa
beruntung sekali bisa mondok di sini.
Dek,,, aku suka kasian kalau
ingat sama kamu. Dulu kita mengerjakan semua bareng-bareng, kalau aku tinggal
berarti kamu kerjakan semua sendiri.
Aku kadang pilu dek,,, saat ingat
kamu dibentak-bentak ibuk atau bahkan dipukul karena kesalahan sepele yang gak
masuk akal. Aku yakin,,, sebenarnya kamu sudah berusaha membantu beliau
semaksimal mungkin yang kamu bisa.
Kita dulu susah bareng aku ingin
kita sukses juga bareng. Dan sampai sekarang aku masih ingat kalau kamu ingin
mondok ditempat yang kualitasnya bagus dan pengasuhnya kyai sepuh agar mendapat
barokah. Makanya aku rekomendasikan kamu untuk ke sini.
Yaudah itu saja ya dek pesan dari
aku. Dan jangan lupa kalau habis kelulusan langsung aja bilang ke bapak kalau
minta ke sini.
Salam kakak mu yang paling
cerewet…”
Setelah semua surat selesai dibaca, tiba-tiba luna terbangun
dan teringat sesuatu.
“Pak!! Tahu kertas yang tadi di sini???”
Dengan muka terkejut ternyata apa yang dia tanyakan sudah
jatuh ke tangan bapaknya. Padahal selama ini dia sembunyikan dan berusaha agar
bapak/ibuknya tidak tahu.
“Lho kok sama bapak!!!!!!”
langsunglah ditarik kertas yang masih dipegang bapak.
“Luna… ini surat dari mbak mu
yang saat itu dititipin ke bapak??”
Dengan mengambil nafas panjang
luna menjawab dengan singkat “Iya!”
“Kamu ingin ikut mondok mbakmu di
Senori Tuban…??”
“Iya pak…. Selama 2 minggu ini
aku menunggu bapak membahas kemana aku melanjutkan sekolah. Tapi aku tunggu
bapak/ibuk kayaknya gak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Aku jadi gak berani
bilang.”
Kalau terkait masalah pendidikan,
dari dulu luna merasa kalau orang tuanya memperlakukan berbeda antara dia dan
kakaknya.
Namun, luna tidak pernah mengeluh
ataupun protes terkait hal itu. Karena dia sadar walau selama dia di MTs berada
di kelas favorit, akan tetapi peringkatnya selalu beada di kisaran 22, 18, 15
dan sekali dapat peringkat 9, dan ini adalah prestasi terbaik yang pernah dia
capai.
Beda dengan kakaknya yang tak
pernah beranjak dari urutan 1,2 dan 3.
“Luna,, bapak lagi gak ada uang.
Ini aja kakakmu bulan depan minta kiriman lagi bapak belum punya. Belum lagi
adek-adekmu sebentar lagi pada mau ujian kan bayar juga.”
Spontan air mata luna tak
henti-hentinya menetes karena dia tahu kalau angannya selama ini akan pupus.
Dan dia juga selalu ingat bagaimana 2 tahun yang lalu saat kakaknya lulus,
orang tuanya begitu antusias untuk memenuhi keinginan kakaknya untuk mondok ke Senori.
Luna membuat teori konspirasi
sendiri, sebenarnya semua bukan hanya terkait biaya. “Andai saja dia anak
berprestasi seperti kakaknya pasti bapak akan memiliki jawaban yang berbeda”
terpikir dalam angannya.
“Yaudah pak, saya manut mau bapak
sekolahkan ke mana yang penting saya bisa melanjutkan sekolah lagi”. Jawab luna
dengan nada penuh pasrah.
“Iya, nanti bapak tak cari info
agar kamu selain sekolah juga bisa dapat biaya tambahan agar ketika orang tua
gak bisa ngirim uang, kamu sudah punya sendiri.”
Luna menganggukkan kepala,
padahal di hatinya ada perasaan cemburu yang amat atas perbedaan perlakuan
orang tuanya yang jelas-jelas diperlihatkan padannya. Karena tak terdengar
sekalipun kata yang keluar dari mulut orang tuanya menyuruh kakaknya untuk sekolah
sambil bekerja.
Dan saat kakaknya SMP (masih di
rumah) pernah ada kejadian, bapaknya melabrak salah satu guru kakaknya. Karena
dia gak terima anaknya yang selalu dianggap pintar diberi nilai 6. Luna pun
berpikir
“Sampai segitunyakah orang tuaku
memperhatikan, memperjuangkan, dan membela kakakku??”
Dan kejadian itu selalu melekat
dimemori luna, padahal pada saat itu dia masih duduk di bangku SD.
Namun luna
adalah gadis pendiam yang hanya akan memendam rasa yang tak mampu diungkapkan.
“Sudah dang bangun pijat dulu
sana kalau masih gak enak badan. Nih uangnya,,,” Bapaknya menyodorkan uang
15.000 sebagai upah pijat.
“Makasih pak…”
“Diantar gak lun,,,??”
“Gak usah pak, aku masih kuat kok
berjalan sendiri.” Jarak rumah tukang pijat dengan rumah luna hanya sekitar 200
meter.
“Ya sudah, kalau begitu bapak mau
ke ladang dulu, mau guyang kambing di sungai.”
Dari pintu kamar, luna mengamati
gerak langkah kaki bapaknya menuju ke kandang.
Terlihat bapaknya keluar dari
kandang dengan menarik satu induk dan di iringi 4 anak yang besarnya sudah
hampir sama dengan induknya.
Melihat bapaknya yang hanya buruh
tani, dan beternak dengan 5 kambing. Rasanya dalam hati luna tidak sampai hati
jika meminta ini itu pada orang tuanya. Dia hanya berprinsip sami’na wa ato’na
pada orang tuanya. Apapun yang dikatakan orang tua dia akan nurut, karena dalam
keyakinannya keberkahan dan kesuksesan akan selalu datang bagi mereka yang
membahagia dan tidak merepotkan orang tua.
Jam dinding menunjukkan pukul
09.15, dan perut luna tiba-tiba terasa sangat lapar. Dia sadar kalau gak
bangun, gak bakalan ada nasi datang menghampiri mulutnya.
Karena ibuk luna sibuk sendiri
dan luna dianggap sehat. Jadi gak ada yang akan mengambilkan nasi.
Dengan ayunan langkah agak berat
karena badannya masih terasa lemas, luna pelan-pelan keluar dari kamarnya.
Sampai dapur terlihat kedua
adiknya lagi asyik bermain kelereng, sesekali kadang dimarahi ibu karena
kelerengnya mluncur di area ibu memasak sehingga dirasa mengganggu.
“Sinta, lukman ayo kalau mainan di
luar sana.”
Namun, keduanya terus saja asyik
bermain tanpa menghiraukan peringatan ibu.
“Dek,, ayo kalau main di luar.”
ku raih tangan sinta agar dia merespon ajakanku.
Sinta adalah anak ke tiga jadi
dia lebih tua dari pada lukman. Walau cewek, sinta lebih cenderung suka bergaul
dengan teman laki-laki daripada perempuan. Diapun lebih suka mainan yang biasa
dimainkan cowok dari pada mainan yang biasa dimainkan anak perempuan.
Penampilannya terkesan tomboy, sukanya pakai celana dan kaos. Jarang sekali terlihat
mengenakan rok apalagi overall.
“Atau ikut kakak aja,,,?”
“Kemana kak,,?”
“Udah ayo pokoknya jalan, tapi
kamu udah makan belum?,,, Kalau belum makan dulu yukk!!!..”
Sambil memandang ke arah ibu,
luna berharap harumnya aroma sayur soto yang di masak segera ditawarkan untuk
dimakan. Namun harapan luna tak sesuai kenyataan. Ibuknya sibuk mencuci piring
sambil diam seribu bahasa.
Luna gak enak langsung mau makan,
dalam benaknya berpikir “Mungkin dikira aku hanya capek dan malas-malasan gak
membantu pekerjaan rumah dan ibuk jadi capek sendiri, sehingga ibuk nyuekin aku??”
pikirannya menggelayut tak karuan arah.
Dengan nada lirih dan sopan luna
memberanikan diri untuk mengambilkan makan buat adik-adiknya dengan harapan dia
nanti juga akan ikut makan.
“Buuuukk… adek tak suapin makan
ya??”
“Yo dang diambilin sana toooo,
kok yo dadak bilang!!!”
Luna akhirnya makan sambil
nyuapin adik-adiknya. Selesai makan, luna melanjutkan niatnya untuk pijat, dan
dia berencana ajak adek-adeknya agar mereka gak mengganggu ibunya yang masih
sibuk.
Acara makanpun telah usai, luna berangkat pijat mengajak
beserta ke dua adeknya.
Pulang pijat luna mendapati bapaknya yang masih mengenakan
celana hitam lusuh khas celana dinas ke ladang, sedang ngobrol di rumah depan bersama
seseorang. Setelah dia dekati dan amati ternyata orang tersebut adalah salah
seorang yang dia kenal.
Dengan langkah pelan dan sopan luna menghampiri bapak dan
tamunya. “E,,, pak lek kodin.. Sudah lama di sini?? Kok janur gunung. Ada angin
apa yang menghembuskan jenengan sampai di sini??
Sudah tadi pak lek??”
Luna mencium tangan pak lek kodin, dia adalah sepupunya
bapaknya yang bertempat tinggal di bojonegoro.
“Barusan kok lun, dari mana kamu??? Sekarang udah gede ya,
terakhir aku lihat kamu masih setinggi pohon ciplukan…” Sambil senyum kecut
tanda meledek.
“Iiiihhh pak lek,,, masak ya sebesar ciplukan to..” sambil
ketawa terkekeh-kekeh.
“Udah 3 tahun lo pak lek g ke sini, kemana aja??.” Luna
duduk dikursi pas depan pak leknya.
Bapak dan pak leknya kembali melanjutkan pembicaraan yang
tadi sempat terputus karena kedatangan luna.
“Din.. kamu kemaren katanya jenguk anak kamu rukayyah
dipondok, gimana kabarnya??” (din adalah panggilan akrab bapak memanggil adek
sepupunya itu).
“Alhamdulillah sehat kang. Dia sudah kerasan di pondok,
teman-temannya baik katanya.” Sesekali memandang luna yang ikut antusias
mengikuti pembicaraan mereka.
“Lun, kamukan sudah lulusan to. Mau mondok dimana kamu?”
Tanya pak leknya.
Tatapan kecewa seketika terpancar diwajah luna yang ayu,
dengan sedikit memainkan mulut sampai terlihat jelas kedua lesung pipinya.
Pandangan, luna belokkan ke arah bapaknya yang juga seksama
memandangi muka luna yang terlihat galau tak karuan.
“Heeemmmm,,, gak tau pak lek. Kulo manut sama bapak saja.”
“Kok manut gimana to maksudnya???”
“Hallah din, adeknya luna itu masih 2 yang butuh biaya buat
sekolah. Rencanaku dia biar sekolah sambil bekerja gitu kalau mau. Kamu ada to
kenalan yang butuh orang buat bantu-bantu. Kalau bisa dekat-dekat pondok
rukayyah sana gak papa biar dia sekalian ikut mengaji kalau pas gak ada
kerjaan.”
Tiba-tiba pak lek kudin teringat dengan salah satu temannya
mondok dulu yang rumahnya dekat dengan pondok rukayyah.
“Ya kang, tapi kalau dekat pondok rukayyah situ aku gak
punya kenalan. Coba nanti aku tanyakan temanku, namanya robianto. Dia punya
percetakan dan sekarang sukses, banyak tender besar yang dia menangkan. Dia anaknya
kayaknya Cuma satu, siapa tahu dia mau dititipi luna. Biar bantu-bantu
pekerjaan rumah istrinya. Lagi pula rumahnya deket kok sama sekolahan dan
pondok Nurul Huda yang di asuh KH. Abdul Ghoffur, paling Cuma satu kilo.”
Dengan penuh semangat bapak luna menguatkan
“Ya din, coba tanyakan ya semoga dia mau…”
Tak ada untaian kata yang ingin luna ucapkan, hanya wajah tunduk
nan pasrah dengan apa yang diputuskan.
BERSAMBUNG ke episode selanjutnya…
By: moshrefa_siti
No comments:
Post a Comment