Tuesday 4 December 2018

Cerita Petualangan Anak Desa


My Village is My Heaven (desaku adalah surgaku)


Gentong. Sabtu, 1 Desember 2018. Siang itu matahari memancarkan sinarnya dengan sempurna. Namun, ada sedikit mendung yang membuat kegaranggya sedikit terhalang sehingga suhu udara terasa sejuk. Pulang sekolah seperti biasa aku bermain dengan teman-temanku. Saking asyiknya bermain, terkadang aku lupa akan makan dan tidur siang. Sehingga tak jarang telinga ini tiap hari penuh dengan tausyiah lima menit ala emak.

Terlepas dari baik buruknya, itulah kebiasaanku yang sampai saat ini belum berhasil aku rubah. Kebiasaan yang terbentuk karena adanya keakraban, kebebasan, keamanan dan jiwa sosial yang masih tinggi. Hal itu terjadi karena aku hidup disebuah region yang berkategori desa. Namun tak jarang juga dari mereka yang tak betah tinggal di desa, sehingga bermigrasi ke kota atau bahkan ke luar negeri. Entah karena alasan pekerjaan, keluarga atau hanya sekedar ingin menuruti gaya hidup biar dikatakan orang modern.
Aku adalah atabeg, aku baru duduk dikelas 1 tingkat dasar. 
Sebagai generasi penerus bangsa, setiap hari aku harus berangkat ke sekolah untuk menuntut ilmu agar kelak menjadi manusia yang berguna. Namun tak jarang ketika melihat kakekku mengajak sepupuku ke sawah dan aku belum saatnya pulang sekolah, mulut ini suka bergumam sendiri “enak ya adek diajak ke sawah, bisa mainan air, lari-lari”……(sambil sedikit jengkel).

Namun, ketika hari libur tiba misal hari minggu atau libur nasional, aku juga sering diajak kakekku atau nenekku ke sawah bareng teman-teman dan adek sepupuku tsaqif. Kami tidak takut basah, kotor, atau bahkan dingin. Selain karena aku suka dengan kegiatan ini, orang tuaku juga mendukung agar aku mengenal alam sekitar.

Hari minggu pun tiba, seperti biasa pagi-pagi sekali temanku fatur datang kerumah untuk bermain mengisi waktu libur kami. Dengan nada merayu si fatur memanggilku dari pintu tengah yang kebetulan sudah terbuka “beg…. atabeg…. Dolanan yuuk….!!!!.” akupun semangat keluar menghampiri fatur, dan kami akhirnya bermain di sekitar rumah dengan memanfaatkan barang-barang seadanya yang kami lihat tergeletak, dan terkadang kami kena marah, karena ternyata barang yang kami gunakan merupakan alat rumah tangga yang masih terpakai.

Setelah cukup lama bermain, tiba-tiba terdengar bunyi sirine dari arah dapur “toleeeeee dang mandi dulu”.. sirine itu tanda peringatan kalau aku harus segera mandi. Akupun segera mematikan sirine itu dengan jawaban “enggeh maaakkk…” dan akupun langsung berlari menuju kamar mandi sambil berpesan pada temanku fatur “tur jangan pulang dulu yaaa, mandiku sediluk alias sebentar brak brak brak” (sambil berlari kecil menuju kamar mandi).

Setelah mandi, kami mau melanjutkan bermain lagi tapi permainan kami sudah terasa membosankan. Akhirnya kami sepakat untuk main ke tempat nenekku, karena di sanalah sepupuku tinggal. Dengan menaiki sepeda ontel, kami berangkat menuju rumah nenekku. Tapi, sebelum sampai tujuan kami berpapasan dengan nenekku yang hendak ke sawah, dan ternyata dibelakangnya ada seorang anak kecil naik sepeda ontel pula sedang  pringas pringis tanda senang berjumpa dengan kami. Ia adalah sepupuku tsaqif yang mau kami ajak bermain. “Wow ke sawah, asyik-asyik”, itulah kalimat yang spontan terlintas di pikiranku. Dengan harapan, ada ajakan dari nenekku agar kami ikut ke sawah bersama mereka.

Ternyata benar saja, setelah melihat kami berdua nenekku langsung melontarkan pertanyaan dengan nada agak sedikit keras agar kami cepat merespon karena terlihat dia buru-buru. “beg ikut gak?? Mbah ti mau ke sawah, lihat wong garu” (garu = mengolah lahan dengan traktor agar siap di tanami kembali) sedangkan (mbah ti = panggilan akrab kami memanggil nenek). Langsung saja aku menjawab dengan penuh semangat “ya mbah ikut, tapi mas fatur diajak ya??”.. aku menawarkan temanku agar boleh ikut karena aku pikir kalau rame-rame akan lebih menyenangkan. Dan akhirnya kami berempat berangkat ke sawah, nenekku jalan kaki sedangkan kami bertiga naik sepeda ontel.

Sesampainya di sawah aku melihat hamparan tanah yang sangat luas, sebagian ada yang sudah digaru sebagian lagi ada yang belum. Kami langsung menuju ke sawah milik nenekku yang kebetulan masih proses menggaru. Untuk memudahkan menggaru sawah harus dalam keadaan becek dan banyak air. Kebetulan pada saat itu masih jarang turun hujan, sehingga ketika proses menggaru sawah harus sambil diairi agar air tidak cepat habis. Dan irigasi mayoritas petani di desaku, memanfaatkan air sumber dari dalam bumi yang diambil dengan bantuan diesel ataupun sibel. Maka dari itu, ketika musim kemarau tiba, banyak diantara mereka yang mengeluh hasil panen tidak sesuai dengan biaya ketika menggarap sawah. Karena biaya yang masuk untuk proses pengairan sendiri bisa mencapai 40% dari penghasilan, belum lagi untuk biaya yang lainnya. Tapi, biarlah itu urusan orang dewasa yang terpenting saat ini aku bisa bermain dan bersenang-senang.

Siang itu kami sangat senang sekali. Kami lari ke sana kemari, naik turun galengan (galengan = batas antara satu petak sawah dengan petak sawah yang lain). Sehingga, dari ujung kepala sampai ujung kaki tak luput dari tempelan lumpur. Sampai aku lihat wajah sepupuku yang terlihat loreng-loreng seperti tentara yang sedang latihan di hutan. “dek wajahmuilhoooo, clorengan kayak  tentara…hhhh” (teriakku sambil mentertawakan dia). Si tsaqifpun malah tertawa terbahak-bahak sambil berkata “yoben mas apik ooooo…hhhh”. Sedangkan si fatur tidak terlalu kotor, kelihatannya dia agak takut dingin.

Tak terasa ketika aku berdiri, kulihat bayangan tubuhku sangat pendek bahkan hampir hilang seakan lari masuk ke dalam tubuh lewat ujung kaki. Hal itu menandakan, bahwa waktu dzuhur telah tiba dan hari sudah masuk waktu siang. Dengan suara yang amat keras nenekku yang dari tadi berjalan menyusuri sawah sambil memantau tukang penggaru berteriak memanggil kami. “hei sudah, ayo pulang”. Kamipun langsung mendekat menghampiri nenek yang kebetulan sudah berjalan menuju ke arah jalan pulang. Karena selain kami memang sudah kedinginan, kami juga segera ingin pulang karena sudah kebiasaan kami setiap waktu dzuhur tiba kami harus sudah di rumah. Karena entah benar atau tidak, ada saja kata orang tua jika waktu terik siang hari masih main di luar rumah. Ada yang bilang nanti diculik, ada yang bilang nanti digondol wewe gombel dan alasan-alasan yang berbau horor lainnya.

Sebelum tiba di tempat parkir sepeda, kami melewati sawah nenekku yang ada di tempat lain. Kebetulan bagian tepi sawah tersebut ditanami pohon pisang dan kami melihat banyak yang sudah masak. Spontan nenekku bilang “le pisange banyak yang suluh, ayo diambil” (suluh = buah yang masak di pohon). “ayoooooo” (sahut kami). Dengan lari penuh semangat, kami menghampiri nenekku yang sedang berusaha menurunkan batang buah pisang yang telah dipotong dari pohonnya. Kamipun menikmati buah pisang sepuasnya sambil diiringi alunan suara diesel yang menyala hampir disetiap sudut sawah. Satu-satu kami petik sampai tak terasa perut ini kenyang. Entah habis berapa buah kamipun tak faham. Andai Tuhan tidak memberi kami rasa kenyang, mungkin satu tundun pisang bisa dihabiskan oleh kami bertiga. 

Setelah kegiatan makan memakan pisang usai, bergegas kami pulang, karena angin yang berhembus sepoi-sepoi semakin membuat kami merasa kedinginan. Dengan mengayuh sepeda sekencang mungkin agar kami segera sampai rumah.

Hari ini sungguh menjadi pengalaman menarik yang sangat berharga dan tak akan pernah terlupakan. Banyak sekali manfaat yang aku peroleh, manfaat yang paling terlihat antara lain dari segi sosial dan kesehatan fisik. Aku jadi tidak ketergantungan lagi pada gadged, yang menurutku akhir-akhir ini menjadi penyebab utama menurunnya jiwa sosial, prestasi, gerak fisik dan yang paling parah terkadang banyak hal-hal negative yang datang akibat factor kebanyakan didepan gadget. Bahkan berdasarkan data dari United Nation Children’s Fund (UNICEF) dalam World Children Report th  2012, Indonesia menempati urutan pertama dengan tingkat obesitas pada anak tertinggi di wilayah ASEAN, yakni 12,2 %. Presentase tersebut jauh lebih tinggi dibanding Negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand 8 % dan Malaysia 6 %. Hal tersebut di karenakan kurangnya gerak fisik pada anak akibat factor kecanduan teknologi baik televisi maupun gadjed.
Sekarang aku mulai memahami, mengapa di kota-kota besar banyak sekolah yang berlomba-lomba menampilkan keunggulan sekolah dengan berbasis alam. Namun, tidak banyak orang tua yang mampu  menyekelohkan anaknya di sekolah tersebut karena biaya masuk yang amat mahal. Bahkan ada yang sampai 20 an juta untuk menebus agar bisa masuk di sekolah yang berbasis alam tersebut. Namun, Alhamdulillah aku bersyukur tinggal di desa yang semua itu dapat aku nikmati dengan gratis. Aku merasa “my village is my heaven” (desaku adalah surgaku).
Kini aku juga mulai memahami, mengapa acara tv si bolang (sebuah acara tv yang mengangkat kehidupan petualangan anak-anak Nusantara yang notabene tinggal di desa) banyak sekali mendapat penghargaan baik dari pemerintah melalui Departemen Kebudayaan, Kementrian pendidikan maupun dari pihak-pihak swasta seperti penghargaan Panasonic award, penghargaan dari yayasan Sains Estetika dan Teknologi dan masih banyak lagi penghargaan-penghargaan lain yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu.
Inilah sedikit cerita tentang petualanganku sebagai anak desa yang suka berinteraksi dengan alam. Ayo teman-teman sedikit demi sedikit tinggalkan gadget. Kasihkan gadget kamu ke orang tua, belum saatnya bagi kita memiliki barang tersebut apalagi kita menggunakannya tiap hari entah dengan alasan untuk komunikasi, melihat situs-situs mengaji, belajar atau alasan lainnya, itu hanyalah sebuah alasan yang manfaat dengan kerugiannya tidak seimbang. Karena jika diteliti banyak kerugiannya daripada manfaatnya.

Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Salam….

See you next time…
 
By : Moshrefa_siti

4 comments:

Unknown said...

hebat hebat sangat kreatif adikku ini lanjutkan ceritamu smga bermanfaat utk semua

Unknown said...

Mas Beg.... Humam diajak main nggeh di Sawah....

Umi nya Mas Beg heebaaat..👸 🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌻🌻🌻🌻🌻

Moshrefa_siti said...

Makasih kakak hehe... amiin

Moshrefa_siti said...

Ayo mas humam... Nanti pas panen keong ya aku ajak. Hikshiks

Belajar dan belajar

KERJA CERDAS BUKAN KERJA KERAS

  Sumber : Tribunnews.com Sejak dulu orangtua kita selalu menasehati anak-anaknya untuk bekerja keras agar hidup kita sukses. Namun, anggapa...